Tetapi sekarang ada sejumlah zat kimia yang menghambat replikasi virus lebih kuat daripada penghambatannya kepada metabolisme sel pejamu, karena daya kerjanya pada sintesis atau fungsi enzim atau asam nukleat virus. Hanya sedikit diantaranya yang dapat dipakai di dalam pengobatan, misalnya:
(1) Nukleosida pirimidin
(2) Metisazon
(3) Amantadin
Ketiga zat ini hanya mempunyai sedikit sekali pengaruh terhadap angka penyakit dan angka kematian penyakit virus.
Permasalahan kemoterapi anti virus:
Ada tiga persoalan utama pada efektivitas kemoterapi anti virus, yaitu:
(i) Virus sangat tergantung kepada metabolisme sel pejamu.
(ii) Fakta bahwa produksi virus sudah sangat lanjut pada saat gejala-gejala timbul.
(iii) Timbulnya mutan yang kebal terhadap obat.
Semua zat yang menghambat replikasi virus juga mengganggu proses di dalam sel
pejamu, misalnya:
pejamu, misalnya:
(a) Puromisin dan sikloheksimid menghambat sintesis protein virus maupun sel pejamu.
(b) Fluorodeoksiuridin atau sitosin arabinosida menghambat sintesis DNA
(c) Aktomisin D menghambat sintesis RNA yang tergantung dari DNA.
Pada konsentrasi virostatik zat-zat tersebut bersifat toksis untuk sel normal. Zat-zat ini merupakan obat yang berbahaya sehingga tidak dapat dipakai untuk pengobatan pada manusia kecuali iododeoksiuridin (obat toksis) yang dipakai secara topikal untuk mengobati infeksi setempat misalnya Herpes Simplex pada kornea.
Zat antivirus ideal harus menghambat produksi virus tanpa mengakibatkan kerusakan pada sel yang tak terinfeksi. Tetapi ada 4 tempat penting yang secara teoritis peka terhadap serangan obat anti virus:
(1) Perlekatan virus yang tergantung pada interaksi dari tiap-tiap kelompok zat kimia yang khas terhadap permukaan sel.
(2) Transaksi mRNA dari DNA virus deoksiribosa memerlukan polimerase RNA khas virus yang tergantung pada DNA sedangkan virus RNA menggunakan polimerasa khas virus.
(3) Molekul mRNA virus dasarnya berbeda dari RNA sel mamalia.
(4) Virus mengkodekan enzim yang penting untuk replikasi asam nukleat virus tetapi tidak ada kaitannya dengan sel pejamu. Enzim-enzim ini hanya dibuat pada sel yang terinfeksi.
Pendekatan rasional untuk mencari obat-obat anti virus: ,
Pendekatan dengan cara seperti pada penemuan obat-obat anti bakteri tidak memberikan hasil yang memuaskan pada pencarian obat-obat anti virus. Pendekatan yang rasional seharusnya berdasarkan penelitian tentang zat-zat yang dapat menghambat reaksi biokimiawi yang khas pada perkembangbiakan virus.
Perlekatan dan penetrasi.
Perlu dicari pasangan reseptor yang khas pada permukaan virus dan permukaan sel. Obat anti virus yang efektif harus dapat bekerja pada reseptor atau sel dan dapat mencegah infeksi, contohnya neuramidasa dapat merusak reseptor glikoprotein pada paru-paru mencit dan akibatnya sel-sel tersebut kebal terhadap infeksi virus influenza sampai timbulnya reseptor baru beberapa jam kemudian. Amantadin dan turunannya tidak menghambat perlekatan virus tetapi memiliki efek pada penetrasi virus ke dalam sel.
INTERFERON:
Zat ini ialah obat kemoterapi anti virus yang ideal untuk mengobati manusia karena merupakan produk alamiah, tidak toksis, tidak menimbulkan alergi dan aktif terhadap ber-bagai jenis virus.
Pada kelinci dan mencit didapatkan hasil terhadap penyakit virus lokal dan sistemik sebagai berikut:
(1) Lebih baik hasilnya untuk profilaksis daripada untuk terapi
(2) Perlu dosis lebih tinggi jika virus yang ada lebih banyak
(3) Pemakaian topikal interferon pada mata, kulit atau saluran napas lebih mem-berikan hasil positif dari pada pemakaian sistemik
Hasil ini belum dapat dicapai pada manusia. Interferon manusia (dengan dosis lebih tinggi) dengan semprotan selama 24 jam tidak dapat mencegah infeksi virus influenza B.
Tetapi jika diberikan interferon mulai satu hari sebelum dipaparkan kepada rhinovirus tipe 4, sampai 3 hari berikutnya, timbul efek:
(1) Gejalanya berkurang.
(2) Berkurangnya virus yang ada
Jenis fibroblas janin manusia strain diploid (misalnya WI—38) dapat memberikan penyediaan sel-sel pembuat interferon yang adekuat. Untuk memurnikan interferon perlu dilakukan inaktivasi virus yang dipakai sebagai perangsang pembentukan interferon. Sel fibroblas kulit manusia yang dirangsang dengan poli-I dan pola-C dapat membuat interferon kira-kira sekali dalam 24 jam selama 5 jam, sel-sel ini dapat dipakai untuk mcmperoleh interferon manusia.
Polinuldeotida sintetis dan penginduksi interferon lainnya:
Kadar interferon pada manusia sesudah terjadi infeksi alamiah atau perangsangan buatan hanya rendah saja dibandingkan dengan yang ditemukan pada mencit tetapi kadar yang rendah ini cukup memberikan perlindungan.
Zat kimia sintetis lebih disukai untuk dipakai merangsang pembentukan interferon dibandingkan dengan virus hidup yang dilemahkan, misalnya polinukleotida (Poly I dan Poly C).
Poly (I) dan Poly (C):
Pada manusia zat ini dapat memberikan perlindungan terhadap berbagai jenis infeksi virus. Jika diberikan secara intramuskuler satu hari sebelum infeksi sampai 4 hari setelah terpapar infeksi rhinovirus tipe 13 yang juga diberikan dengan cara yang sama, akan menyebabkan jumlah virion berkembang dan juga gejala-gejala batuk pileknya pun lebih ringan. Pemberian secara topikal pada saluran napas cukup memberikan harapan tanpa adanya efek samping.
Kelemahannya—Pemberian sistemik obat ini merupakan kontraindikasi kecuali pada penyakit berat, karena efek samping pada sistem hemopoiesis dan fungsi hati. Sesudah pemberian satu dosis, binatang percobaan menjadi refrakter sementara terhadap dosis kedua perangsang interferon. Hal ini juga terjadi pada semua jenis perangsang interferon.
Penelitian terakhir _
Bertujuan untuk membuat polinukleotida baru dengan daya anti virus yang lebih tinggi dengan toksisitas yang lebih rendah terhadap menusia misalnya: N-N dioktadesil N', N bis (2 hidroksietil) propanediamin diberikan sebagai emulsi minyak dalam air secara intranasal, akan menginduksi pembuatan interferon dalam dosis tinggi.
Interferon dapat dipakai untuk pengobatan penyakit virus akut yang membahayakan kelangsungan hidup seseorang. Dosis yang dianjurkan ialah 5 juta unit secara intramuskuler tiap hari selama satu minggu (Hepatitis B), 5 juta unit tiga kali seminggu selama 10 bulan (papilomatosis) dan satu juta unit intramuskuler selama 3 hari pada ensefalitis varisela.